Gue selama ini sangaaaaaat menghindari membahas politik, baik itu di kehidupan nyata ataupun di kehidupan sosial media. Bukan karena ngga punya pandangan atau ngga punya pilihan. Lebih ke karena sifat gue yang kalo-bisa-menghindari-konflik-kenapa-harus-menciptakan-konflik. Yes, sikap gue yang kesannya apatis itu lebih karena jengah melihat sikap politik yang diambil oleh lingkungan sekitar gue yang bisa dibilang terlalu agresif. Gue ngga mau menjadi bagian dari kaum agresif itu, jadinya ya lebih baik gue diam saja.
Beberapa hari sebelum pemilu, gue sempet ngerepost IG story dari @prin_theth (Laila Achmad) yang ngebahas tentang Jokowi dan Novel Baswedan. Mau ngga mau harus gue bilang kalau gue sangat setuju dengan pemikirannya. Yang pertama, kita sama-sama kecewa atas kasus penyiraman air keras kepada Novel Baswedan yang sepertinya diusut dengan setengah hati (atau malah ngga pake hati?). Yang kedua, Jokowi bukan orang suci tanpa cela (seperti yang selama ini digaung-gaungkan oleh pendukung garis kerasnya). Jadi, kalau beliau terpilih lagi, ada baiknya kita kawal pemerintahan beliau dengan ketat. Yang ketiga, despite me being a golputers, dari lubuk hati terdalam gue harus setuju kalau 01 is still a better choice of being a president than 02.
Apaaah? Kamoh golput?
Gue ngga bangga akan pilihan gue, tapi harus gue akuin kalo di pemilu kemarin gue golput. Pilihan itu gue ambil karena sampai detik-detik terakhir pemilu gue masih ngga yakin akan pilihan gue. Dan karena nama gue, entah kenapa, ngga tercantum dalam daftar pemilih tetap. Huahahaha. Jadi sebenernya apa ya alesan gue golput, jadi bingung sendiri... 😝
Mau cerita dulu yaa...
Jadi, di pemilu 2014, gue dan sekeluarga mendukung 01 pada masanya, alias PS. Alasannya cukup simpel: JKW tidak terlihat sebagai orang yang mampu memimpin negara ini. Mulai dari sikapnya yang 'klemar-klemer', sampai kekhawatiran gue akan orang-orang yang berada di belakangnya. Terutama, sebut saja, salah satu anak perempuan dari proklamator kita, yang juga pernah jadi presiden dan, sayangnya, memiliki rekam jejak yang kurang baik selama pemerintahannya yang singkat.
Untuk kalian yang udah cukup umur dan melek pada tahun 2001, mungkin masih ingat kalau si ibu beberapa kali membuat pergerakan blunder selama pemerintahannya. Mulai dari menjual saham Indosat, menjual kapal tanker Pertamina, lahirnya praktik outsourcing, lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Legitan, sampai sikapnya yang cenderung 'melindungi' kader-kader dari partainya yang saat itu terbukti melakukan praktik korupsi. Saat itu, secara statistik PDIP (adoh monmaap, jadi sebut merk) memang menjadi partai terkorup di Indonesia berdasarkan laporan KPK Watch. Yang makin ajaib adalah ketika si ibu menyebut kader-kader PDIP ini terjerat korupsi karena kehidupan masa lalu mereka yang terbilang susah. Harus diakui, pernyataan yang mungkin maksudnya untuk 'menarik simpati' masyarakat, jatuhnya malah seperti menjustifikasi tindak korupsi mereka. Dukungan si ibu (dan PDIP tentunya) kepada JKW, malah membuat gue (dan mungkin banyak orang lain) jadi takut akan kembalinya rezim PDIP seperti pada zaman kekuasaan si ibu.
Walaupun demikian, gue harus setuju kalau JKW secara pribadi patut diacungi jempol. Beliau terlihat seperti orang yang tidak 'macem-macem', keluarganya pun bukan 'benalu' (seperti keluarga opung di rezim orba), dan pemerintahannya yang terbukti produktif dan relatif bersih. Tapi sayangnya, sisi positif beliau belum mampu membuat gue mencoblos beliau di 2014. Apalagi, saat PS sebagai rivalnya menawarkan diri sebagai capres dengan karakter yang terkesan tegas dan berwibawa. Gue yang saat itu berpikir kalau pemimpin seperti itulah yang dibutuhkan Indonesia, akhirnya memutuskan mencoblos PS.
Tapi sayangnya, ngga butuh lama bagi gue untuk ilfeel dengan PS. Tepatnya, di tanggal 9 Juli 2014, hari pemilu pada saat itu, di mana PS memproklamirkan diri sebagai pemenang pemilu berdasarkan hasil quick count dari satu lembaga survey di satu stasiun televisi, despite other survey institutes which stated otherwise. Kemudian beliau dan pendukungnya sujud syukur, seolah merayakan kemenangan kemera. Kemudian, saat KPU mengumumkan hasil pemilu resmi di mana pemenangnya adalah JKW, beliau tidak terima dan menuntut ke MK. Sampai saat tuntutannya dinyatakan tidak dapat membuktikan adanya kecurangan dan ditolak, beliau tetap keukeuh untuk menjadi oposisi dan selama lima tahun terakhir menjadi salah satu kritikus terbesar pemerintah. Sayangnya bukan kritikus yang membangun, tapi lebih ke kritikus yang girang kalo 'musuhnya' bikin kesalahan.
I was like, ayolah, gue memang salah satu pemilih lo, tapi kalo lo kalah yaudah kalah aja. Kalau tujuan lo mencalonkan diri menjadi presiden adalah membangun negara atau menyumbangkan hal positif ke negara, ya ayolah kerjasama dengan pemerintah yang sah. Kasih apa yang lo bisa kasih buat negara sebagai bukti kalo lo pantes jadi pilihan rakyat dan pemenang. Siapa tau, pemilu berikutnya bisa menang kan?
Rasa ilfeel gue pun semakin membuncah begitu beliau secara tegas menyatakan mendukung gerakan-gerakan umat Islam yang bertanggal cantik itu. Gue Islam, tapi keIslaman gue belum membuat gue buta kalau gerakan-gerakan mereka itu sesungguhnya sarat muatan politik. Karena, cmon, mengapa selalu ada PS dan oposisi lainnya setiap aksi mereka?
Gue semakin sedih karena sepertinya PS dan gerombolannya semakin kentara menunggangi Islam demi kepentingan mereka. Sayangnya mereka lumayanpinter licik, mereka sadar kalau beberapa tahun ke belakang, hijrah seperti sudah menjadi tren bagi umat Islam di Indonesia. Ustadz dan ulama karbitan bertebaran di mana-mana, memberi kajian yang sayangnya mungkin diikuti tanpa penyaringan dulu oleh pengikutnya. Pengikutnya siapa? Ya para hijrah snob ini, yang baru memulai hijrahnya, tapi udah merasa paling tau agama. Jadi yang ngga ikut kajian atau aliran mereka dianggap sebagai Islam abal-abal atau bahkan dikafir-kafirin. Sorry if I'm being harsh, tapi ini dari lubuk hati terdalam gue.
Jujur gue sedih banget sih ngeliat temen-temen gue yang gue pikir bisa berpikir jernih, berpendidikan, ngga gampang kemakan hoax, dan ngga berpikiran kolot, ternyata juga menjadi bagian dari mereka yang agresif itu. Gampang nyebar hoax, gampang 'panas', dan gampang menilai rendah orang lain hanya karena ngga sepilihan dengan mereka.
Kondisi seperti itu tentunya cepat atau lambat akan membuat perpecahan nasional, dong. Islam garis keras versus Islam liberal (kata mereka, sang hijrah snob) plus kaum non-Muslim. Perpecahan ini sayangnya ngga cuma terjadi di elit politiknya aja, tapi bahkan sampai ke masyarakat cere-cere seperti kita. Belum lagi hoax di mana-mana yang ngebuat situasi jadi tambah panas. Ujung-ujungnya, hanya karena berbeda pandangan politik, antar keluarga jadi musuhan, yang tadinya temen jadi ngga temenan lagi. Padahal nih ya, mereka-mereka yang dibela itu kenal elu juga kaga ah, Bambaaankk!
Gue mengalami sendiri betapa kondisi jadi ngga kondusif gara-gara pemilu 2019 ini. Temen kantor gue ada yang sangking militannya sama salah satu calon, jadi nonton video tentang si calon itu terus. Bahkan saat jam kerja, bahkan kerjaannya jadi keteteran. Temen kantor gue yang lain juga cerita kalau dia terpaksa harus keluar dari salah satu grup whatsapp karena ngga tahan dengan obrolan yang sarat akan politik dan hoax. Itu cuma dua dari sekian banyak contoh kondisi ngga nyaman akibat perang politik ini.
Gue apa kabar?
Jujur, gue cukup terganggu dengan beberapa temen nyata dan maya gue karena tingkah-tingkah mereka yang bak buzzer capres pilihannya. Mau pendukung 01 atau 02 sama aja. Walaupun harus diakui, entah kenapa, temen-temen gue yang ngedukung 02 ini jauuuuh lebih agresif dibanding pendukung 01. Misalnya nih ya, gue lagi nulis IG story apa, eh selalu dijawab tentang hal-hal yang berbau 02. Bahkan saat gue ngga ngebahas politik atau hal-hal yang bisa nyangkut ke sana. Contoh nih ya, gue pernah ngepost foto gue lagi dengan jari berpose begini ✌. Eeh, langsung dikomen "Insya Allah 02 ya mba!". Yassalam.
Kalo pendukung 01 kaya gimana? Yaah, annoyingnya paling kaya mereka selalu membuat status atau story yang seolah mendewakan 01 dan memuja seolah tanpa cela. Walaupun iya sih, si bapak emang banyak ngebuat progress di perkembangannya dan iya sih, kerendah hatian keluarga si bapak emang patut ditiru. Tapi gue setuju dengan statement @prin_theth yang udah gue tulis di atas: dukung tapi tetap kritis terhadap kinerjanya. Jadi yang jangan bucin dan akhirnya ngga bisa ngeliat hal-hal yang harusnya masih bisa diperbaikin dari pemerintahan bapak kemarin.
Btw, berhubung tulisan ini udah lamaaa banget mengendap di draft gue, Laila Achmad udah keburu bertelur postingan lagi. Kali ini di anotasi.com dan berjudul Mengapa Kita Tak Bisa Jadi Pemilih yang Rasional. I must say that I absolutely agree on her. Kok gue setujles mulu ya sama pikirannya, btw?
Pada akhirnya, seperti yang udah gue tulis di atas, gue memutuskan untuk golput. Emang belum yakin banget sama pilihan, walaupun udah ada perasaan lebih sreg ke arah mana. Tapi begitu tau kalo gue belum masuk DPT, gue merasa semesta mendukung gue untuk jadi golputers. Huahahaha. Jangan ditiru yaa!
Pemilu saat ini memang sudah selesai. Sudah ada keputusan pemenangnya siapa, walaupun sepertinya jalan masih akan panjang dan berliku menuju penetapan final yang se-final-finalnya siapa presiden kita untuk lima tahun ke depan. Yang penting jangan rusuh lagi ya pliz. Walaupun kalo rusuh dan diliburin aku juga syeneng sihhh, hihihi.
Gue cuma pengen ngasih tau pandangan gue yang sama seperti pandangan gue lima tahun yang lalu: siapapun presidennya, walaupun bukan pilihan kita, kita harus hormatin. Kita harus hargain proses dan kerja keras semua yang sudah terlibat di proses itu. Kita harus menyadari kalau kita mau berjuang, sebaiknya tetap mengikuti aturan yang ada. Kita harus menyadari kalau setiap menerima berita, harus dicerna baik-baik dengan akal jernih dan hati bersih. Kita harus menyadari kalau suara kita mungkin tidak sama dengan suara mayoritas di Indonesia, walaupun terlihatnya seperti itu. Pada akhirnya kita harus menyadari kalau yang namanya takdir sudah ada yang mengatur dan ngga harus sesuai keinginan kita.
Bhaaaayyy!
Gue semakin sedih karena sepertinya PS dan gerombolannya semakin kentara menunggangi Islam demi kepentingan mereka. Sayangnya mereka lumayan
Jujur gue sedih banget sih ngeliat temen-temen gue yang gue pikir bisa berpikir jernih, berpendidikan, ngga gampang kemakan hoax, dan ngga berpikiran kolot, ternyata juga menjadi bagian dari mereka yang agresif itu. Gampang nyebar hoax, gampang 'panas', dan gampang menilai rendah orang lain hanya karena ngga sepilihan dengan mereka.
Kondisi seperti itu tentunya cepat atau lambat akan membuat perpecahan nasional, dong. Islam garis keras versus Islam liberal (kata mereka, sang hijrah snob) plus kaum non-Muslim. Perpecahan ini sayangnya ngga cuma terjadi di elit politiknya aja, tapi bahkan sampai ke masyarakat cere-cere seperti kita. Belum lagi hoax di mana-mana yang ngebuat situasi jadi tambah panas. Ujung-ujungnya, hanya karena berbeda pandangan politik, antar keluarga jadi musuhan, yang tadinya temen jadi ngga temenan lagi. Padahal nih ya, mereka-mereka yang dibela itu kenal elu juga kaga ah, Bambaaankk!
Gue mengalami sendiri betapa kondisi jadi ngga kondusif gara-gara pemilu 2019 ini. Temen kantor gue ada yang sangking militannya sama salah satu calon, jadi nonton video tentang si calon itu terus. Bahkan saat jam kerja, bahkan kerjaannya jadi keteteran. Temen kantor gue yang lain juga cerita kalau dia terpaksa harus keluar dari salah satu grup whatsapp karena ngga tahan dengan obrolan yang sarat akan politik dan hoax. Itu cuma dua dari sekian banyak contoh kondisi ngga nyaman akibat perang politik ini.
Gue apa kabar?
Jujur, gue cukup terganggu dengan beberapa temen nyata dan maya gue karena tingkah-tingkah mereka yang bak buzzer capres pilihannya. Mau pendukung 01 atau 02 sama aja. Walaupun harus diakui, entah kenapa, temen-temen gue yang ngedukung 02 ini jauuuuh lebih agresif dibanding pendukung 01. Misalnya nih ya, gue lagi nulis IG story apa, eh selalu dijawab tentang hal-hal yang berbau 02. Bahkan saat gue ngga ngebahas politik atau hal-hal yang bisa nyangkut ke sana. Contoh nih ya, gue pernah ngepost foto gue lagi dengan jari berpose begini ✌. Eeh, langsung dikomen "Insya Allah 02 ya mba!". Yassalam.
Kalo pendukung 01 kaya gimana? Yaah, annoyingnya paling kaya mereka selalu membuat status atau story yang seolah mendewakan 01 dan memuja seolah tanpa cela. Walaupun iya sih, si bapak emang banyak ngebuat progress di perkembangannya dan iya sih, kerendah hatian keluarga si bapak emang patut ditiru. Tapi gue setuju dengan statement @prin_theth yang udah gue tulis di atas: dukung tapi tetap kritis terhadap kinerjanya. Jadi yang jangan bucin dan akhirnya ngga bisa ngeliat hal-hal yang harusnya masih bisa diperbaikin dari pemerintahan bapak kemarin.
Btw, berhubung tulisan ini udah lamaaa banget mengendap di draft gue, Laila Achmad udah keburu bertelur postingan lagi. Kali ini di anotasi.com dan berjudul Mengapa Kita Tak Bisa Jadi Pemilih yang Rasional. I must say that I absolutely agree on her. Kok gue setujles mulu ya sama pikirannya, btw?
Pada akhirnya, seperti yang udah gue tulis di atas, gue memutuskan untuk golput. Emang belum yakin banget sama pilihan, walaupun udah ada perasaan lebih sreg ke arah mana. Tapi begitu tau kalo gue belum masuk DPT, gue merasa semesta mendukung gue untuk jadi golputers. Huahahaha. Jangan ditiru yaa!
Pemilu saat ini memang sudah selesai. Sudah ada keputusan pemenangnya siapa, walaupun sepertinya jalan masih akan panjang dan berliku menuju penetapan final yang se-final-finalnya siapa presiden kita untuk lima tahun ke depan. Yang penting jangan rusuh lagi ya pliz. Walaupun kalo rusuh dan diliburin aku juga syeneng sihhh, hihihi.
Gue cuma pengen ngasih tau pandangan gue yang sama seperti pandangan gue lima tahun yang lalu: siapapun presidennya, walaupun bukan pilihan kita, kita harus hormatin. Kita harus hargain proses dan kerja keras semua yang sudah terlibat di proses itu. Kita harus menyadari kalau kita mau berjuang, sebaiknya tetap mengikuti aturan yang ada. Kita harus menyadari kalau setiap menerima berita, harus dicerna baik-baik dengan akal jernih dan hati bersih. Kita harus menyadari kalau suara kita mungkin tidak sama dengan suara mayoritas di Indonesia, walaupun terlihatnya seperti itu. Pada akhirnya kita harus menyadari kalau yang namanya takdir sudah ada yang mengatur dan ngga harus sesuai keinginan kita.
Bhaaaayyy!
No comments:
Post a Comment