Dua bulan lalu gue mengalami patah hati yang lumayan berat. Bukan karena cinta (YAIYALAH PLIS!), tapi karena Fluna, bayi gue yang waktu itu baru berumur 3.5 bulan, sakit batuk pilek yang amaaaat berkepanjangan. Gue ngga lebay saat gue bilang berkepanjangan, karena Fluna waktu itu sakit batuk pilek sampai lima minggu! A freaking five weeks! Bayangkan betapa kasiannya bayiku, hancurnya hatiku, dan morat-marit berat badan bayiku.
Baca: Sakit Perdana Fluna
Selama Fluna sakit, gue udah mencoba ngobatinnya dengan macem-macem, bolak-balik bawa ke DSA, dan bolak-balik nenteng dia inhalasi plus chest physiotherapy di RS. Gue merasa sedih banget karena selain kasian sama si bayi yang sakit berkepanjangan, gue juga kasian karena dia harus minum obat dalam waktu lama dan melalui sesi-sesi inhalasi plus chest physiotherapy yang pastinya ngga menyenangkan buat bayi.
Awal Fluna sakit, gue mencoba menerapkan RUM dengan pertimbangan penyebab utama bayi batuk pilek adalah hipersensitivitas alias alergi. Gue oles-oles lah pake segala macem YLEO, plus gue dilute juga itu YLEO. Gue juga bersih-bersihin kamar dari segala benda yang berpotensi jadi sarang debu. Bahkan, dengan patah hati, gue jauhin Mas Echo dari adeknya karena emang Mas Echo juga lagi batuk pilek ketularan entah siapa di sekolah, huhuhu. 😔😔😔
Tapi saat batuk Fluna makin parah, dia makin sering muntah dengan lendir kuning kehijauan, dia mulai menolak menyusu, dan berat badannya cuma naik 20 gram dalam waktu dua minggu (!!!), gue ngga bisa lagi mempertahankan pandangan RUM gue. Gue tentenglah bayi gue ke DSA. Ke dua DSA di dua RS yang berbeda, tepatnya. Karena emang sampe obatnya abis atau diinstruksikan berhenti, anaknya masih belum sembuh.
Gue mulai putus asa. Sampai suatu hari gue membawa Fluna ke dr. Ivy di RS Bunda Margonda. Gue curhat kalau sakitnya Fluna ini udah berkepanjangan. Dia udah jalanin banyak inhalasi plus chest physiotherapy dan dapet berbagai obat. Gue sampaikan concern gue mengenai banyaknya obat yang harus dia konsumsi. Gue bingung karena bener-bener ngerasa clueless tentang sakitnya anak gue ini. Walaupun gue kurang lebih yakin, kalau sakitnya Fluna ini bukan kaya tuberculosis atau pneumonia karena dia ngga ada demam dan risiko ke arah sana.
Dr. Ivy tiba-tiba bertanya ke gue: bu, ibu punya alergi makanan ngga?
Gue jawab: ngga dok, dulu sih sempet alergi ayam negeri, tapi setelah lahiran anak pertama langsung saya ngga alergian lagi.
Dr. Ivy: kalau Fluna ini ada riwayat alergi ngga?
Gue: sepertinya dia kulitnya sensitif, dok, waktu baru lahir bahkan dia alergi pakai Sebamed. Sekarang dia cuma cocok pakai Cetaphil dan Ceradan.
Dr. Ivy: wah kayanya anaknya ada bakat alergi nih. Masih full ASI, kan?
Gue: masih dok
Dr. Ivy: nah, coba ibunya sekarang stop dulu makan atau minum cokelat, susu, keju, yoghurt, pokoknya stop dulu semua produk turunan susu ya!
Gue: oke dok.
Setelah itu, gue stop mengkonsumsi semua yang dilarang itu. Emang sih, gue akhir-akhir ini minum susu menyusui (rasa cokelat), susu kedelai, dan ASI booster model susu yang mengandung kacang-kacangan. Apa jangan-jangan selama ini Fluna batuk pilek karena itu???
Dua hari setelah gue stop mengkonsumsi itu semua...
VOILA! FLUNA BERHENTI BATUK PILEKNYA!!!
Tanpa minum obat atau inhalasi plus chest physiotherapy lagi!
Gue seneng banget-banget-banget. Karena seiring sembuhnya dia, berat badannya juga kembali menuju puncaaaak gemilang cahayaaaaa ~~~
Pesan moral dari cerita gue ini adalah, benar adanya kalau sakitnya bayi itu kemungkinan besar karena alergi. Bukan cuma alergi debu, tapi bisa jadi dari apa yang ibunya makan (kalau anaknya masih nyusu). Kalau emang kita mau RUM, coba stop makanan atau minuman yang potensial memicu alergi, seperti susu, cokelat, keju, kacang-kacangan, atau seafood.
Salam weekend dan titip cium kangen untuk susu, cokelat, dan keju. Bilangin, Ayas rindu!
No comments:
Post a Comment