Gue lupa udah pernah cerita atau belum, tapi gue adalah seorang dokter. Walaupun ngga kerja di rumah sakit atau klinik seperti dokter-dokter lainnya, sih. Saat ini, gue bekerja di perusahaan. Itupun tugasnya bukan
sebagai dokter yang memeriksa pasien, malah lebih terlibat di manajemen
perusahaan. Walaupun jobdescnya
sedikit jadi-jadian, gue tetep seorang dokter, punya STR, keanggotaan IDI, dll. Sama seperti ibu, baik itu ibu
yang melahirkan dengan operasi caesar, ibu yang tidak memberi ASI eksklusif,
atau ibu yang bekerja kantoran, tetap saja judulnya ibu, kan?
Sebelumnya kita harus tau
dulu nih, apa sih arti dari war.
War is a state of armed conflict between different nations
or states or different groups within a nation or state.
Kalau dalam bahasa
Indonesia, war atau perang merupakan
konflik bersenjata antar bangsa, negara, atau kelompok dalam suatu bangsa atau
negara. Err, tapi kalau mom wars sih,
jangan dibayangin perang yang literally
perang pake senjata gitu ya. No, mom wars bukan perang semacem itu.
Sepengetahuan gue sih, mom wars adalah ‘perang’ antara ibu-ibu
tentang idealisme, pendapat, serta metode yang menurut mereka benar di dunia parenting. Jadi mungkin lebih ke perselisihan
pendapat ya? Tapi walaupun perangnya ngga pake bambu runcing apalagi
menimbulkan korban jiwa, mom wars ini
sangat berpotensi menimbulkan berbagai dampak buruk bagi para partisipannya.
Ngga percaya? Yuk kita
bahas satu-satu mom wars yang marak
diperbincangkan di dunia parenting!
Ibu
yang melahirkan pervaginam vs Ibu yang melahirkan melalui operasi caesar
Mungkin istilah yang udah
familiar di dunia parenting bukan melahirkan pervaginam ya, tapi melahirkan
normal. Tapi gue pribadi, dari dulu, kurang nyaman menggunakan istilah itu.
Kesannya melahirkan selain pervaginam itu melahirkan yang abnormal. Padahal yang
abnormal itu sih, beranak dulu baru nikah #eh.
Sebenarnya, apa sih tujuan
melahirkan itu? Tujuan akhirnya adalah membawa janin yang sudah dikandung
selama lebih dari 9 bulan ke dunia dengan selamat, kan? Tolong ya, kata ‘selamat’
itu dijadikan highlight. Karena
berarti, yang terpenting dari melahirkan itu adalah hasil akhirnya, bayi dan
ibu selamat. Apapun prosesnya. Titik.
Eh, tunggu dulu. Jangan
dititikin dulu.
Banyak yang bilang, kalo persalinan
ngga lewat vagina itu belum sah jadi ibu. Kalo persalinan ngga ngerasain sakit
itu belum jadi ibu sepenuhnya. Sorry, but
I have to say, what the hell. Seolah menjadi ibu sepenuhnya itu tergantung dari
seberapa berat penderitaan atau rasa sakit yang kita rasakan. Seolah keluarnya
bayi dari vagina itu satu-satunya hal yang bisa memvalidasi status ibu dari seorang wanita.
Kalau menurut gue, setiap
wanita pasti sebenarnya pengen merasakan melahirkan anaknya dari vagina. Gue
berani bilang begitu karena gue sendiri yang melahirkan melalui operasi caesar
pun sebenarnya pengen mencoba melahirkan pervaginam. Apa daya, situasi dan
kondisi kurang bisa diajak kerjasama. Metode melahirkan, termasuk melahirkan
pervaginam, hanya bisa diusahakan, tidak bisa dipastikan keberhasilannya.
Jadi flashback dulu yaa, ke kisah pribadi gue.
Waktu gue hamil anak
pertama, sampai di usia kehamilan 36 minggu, semuanya baik-baik aja. Kondisi
janin baik, posisi janin ciamik, ketuban cukup, plasenta apik, dan tidak ada
lilitan tali pusar. Bisa dibilang, 99% gue bisa melahirkan pervaginam. Tapi
siapa gue dan obgyn gue, kalo bisa ngedahuluin takdir?
Gue kemudian harus
menghadapi kenyataan bahwa di usia kehamilan 36 minggu, tiba-tiba plasenta gue
mengalami pengapuran yang cukup drastis. Bahkan pengapuran plasentanya sudah mencapai
grade IV. Dengan pengapuran plasenta itu, asupan nutrisi ke janin menjadi
sangat berkurang. Efeknya adalah, berat janin gue bukannya bertambah di
minggu-minggu akhir kehamilan. Malah berkurang dan diprediksi hanya mencapai 2200 gram.
Apakah gue langsung
memutuskan operasi Caesar saat itu?
Tidak, cyin. Gue masih
bersabar dan berikhtiar dengan…makan super banyak. Huahaha. Ngga peduli berat
badan gue yang melonjak cukup drastis, yang penting asupan ke janin gue bisa maksimal. FYI, kenaikan berat badan gue pas hamil pertama itu sampe 22 kilo lhooo. Sayangnya, usaha gue itu belum berhasil. Berat badan gue sih naik. Pake banget.
Tapi berat janin tetap stagnant
bahkan cenderung menurun. Terus 22 kilo itu ke manaaa? Ke gue semua dooong??
Bahkan di saat itu, gue
belum kehilangan harapan untuk bisa lahiran normal. Gue masih beraktifitas
biasa, bahkan masih ngantor. Sampai suatu hari, waktu usia kehamilan gue
memasuki minggu ke 37, gue kontrol rutin ke obgyn dan cerita ke obgyn kalau
akhir-akhir ini janin gue super aktif sampai membuat perut gue kenceng terus.
Obgyn gue curiga, dan beliau memegang perut gue. Ternyata begitu diperiksa,
janin gue bukan sekedar bergerak, tapi rahim gue saat itu sedang mengalami
kontraksi!
Saat itu, gue merasa super
bodoh. Waktu gue masih praktek klinis, gue kan sering menangani ibu hamil,
termasuk mendeteksi dan mengukur kontraksi. Tapi kok bisa-bisanya gue ngga tau
kalo gue sendiri lagi mengalami kontraksi? Zzzz.
Detik itu juga dokter
menginstruksikan gue untuk bedrest.
Alhasil, gue harus cuti mendadak dari kantor. Padahal rencananya sih pengen ambil
cuti pas mepet lahiran. Biar waktu bersama bayi bisa lebih banyak nantinya.
Tapi ya mau bagaimana lagi? Gue langsung mengurus izin cuti dari kantor yang untungnya
tidak dipersulit.
Selanjutnya, gue mengalami
kontraksi non-stop. Gue juga kontrol ke obgyn dengan frekuensi dua hari sekali.
Setiap kontrol, dilakukan pemeriksaan CTG dan dicek bukaan yang rasanya aduhai
banget! Hasilnya, kontraksi gue udah kencang dan teratur, setara dengan
pembukaan 4. Tapi pada kenyataannya, begitu diukur pembukaan gue baru 1 menuju
2 aja, dong.
Gue mengalami kondisi
yang stagnant selama kurang lebih dua minggu. Yep, gue mengalami kontraksi kuat
dan teratur plus bukaan yang tidak maju selama dua minggu. Obgyn tersayang
menawarkan dua pilihan: induksi atau operasi
caesar. Dengan pertimbangan kalau saat ini dengan kontraksi kuat pun tidak
terjadi pertambahan bukaan, plus induksi berpotensi gagal juga dan bisa
berakhir dengan operasi Caesar juga, gue dan suami akhirnya memutuskan kalau
gue akan menjalani operasi caesar.
Apakah keputusan operasi caesar
yang gue ambil adalah keputusan yang tepat?
Gue bisa bilang, iya. Toh pada akhirnya,
Alhamdulillah, bayi gue dan gue selamat tanpa kurang suatu apapun. Walaupun
begitu, dalam hati tentunya ada sedikit rasa kecewa karena tidak bisa merasakan
persalinan pervaginam.
Apa keputusan operasi caesar
yang gue ambil mengundang banyak pertanyaan dan komentar orang?
Gue harus
bilang, banget. Banyak yang bilang gue ngga mau usaha buat bisa lahiran normal.
Banyak yang bilang gue takut sakit jadinya mutusin caesar. Bahkan ada yang
nyinyir, kok dokter lahirannya ngga normal sih?
I
should say, what the hell.
Ngana pikir lahiran caesar
ngga sakit?
Ada salam dari suntik epidural yang gue jalani di tulang belakang.
Dua kali. Karena setelah suntikan yang pertama gue masih bisa ngangkat kaki
gue. Ada salam dari kateter yang harus gue pake sehari semalem. Ada salam dari
jahitan di perut yang nyut-nyutan dan harus gue tahan karena gue harus belajar
tidur miring, duduk, berdiri, jalan, mandi sendiri, plus netein anak.
Apakah gue ngeluh?
Ngga
dong. Kan itu pilihan gue. Lagian dari dulu gue bukan orang yang berprinsip
lahiran-caesar-itu-ngga-sakit-kaya-lahiran-normal. Yang namanya lahiran ya
pasti sakit lah, cong. Boker kalau sembelit aja rasanya aduhai,
apalagi melahirkan?
Pada intinya, proses
persalinan yang mana pun, yang penting adalah mengutamakan keselamatan ibu dan
bayi. Walaupun demikian, gue setuju kalau persalinan caesar harus dilakukan
karena indikasi medis tertentu. Misalnya, tulang panggul yang (menurut
perkiraan dokter) kurang memungkinkan untuk dilewati bayi, malpresentasi alias
posisi janin yang kurang oke, adanya lilitan tali pusar pada bayi, plasenta
previa, atau riwayat penyakit tertentu pada ibu. Karena sebenarnya, risiko dari
persalinan caesar itu sangat tinggi, lho. Mulai dari pemulihan yang lebih lama,
risiko perdarahan yang lebih besar, hingga risiko infeksi pada luka bekas
operasi.
Jadi, masih beranggapan
persalinan caesar itu ngga sakit dan lebih enak untuk ibu? 😊
Tunggu episode mom wars berikutnya yaaa! ← SAPE ELU, YAS?!
Saya dua kali melahirkan dan semuanya caesar. Keduanya mempunyai pengalaman berbeda. Pengalaman pertama lebih drama karena setelah lahiran, saya terkena sakit kepala yang luar biasa. Makanya begitu caesar kedua, saya diskusikan dengan ahli anestesi. Alhamdulillah yang kedua gak mengalami sakit kepala lagi.
ReplyDeleteIya pernah juga dengar/baca komentar kalau yang melahirkan secara caesar bukan ibu sesungguhnya. Dulu sih suka sebel. Tapi, lama-kelamaan masa bodo, lah. Yang penting anak-anak dekat dan senang ma bundanya. Saya pun bahagia. Suami juga gak masalah saya lahiran secara caesar :D
hahaha, sama bun, akupun sepertinya akan SC lagi yang kedua ini...dan masih ngga luput dari nyinyiran orang2: segitunya yaa ngga mau nyoba lahiran normal *yassalam*
Deletetapi bodo amet yaaa, yang penting anak sehat dan selamat, hihi :D