Pages

Chronicles of Mom Wars: Episode Melahirkan Pervaginam vs Operasi Caesar

Tuesday, May 22, 2018

Gue lupa udah pernah cerita atau belum, tapi gue adalah seorang dokter. Walaupun ngga kerja di rumah sakit atau klinik seperti dokter-dokter lainnya, sih. Saat ini, gue bekerja di perusahaan. Itupun tugasnya bukan sebagai dokter yang memeriksa pasien, malah lebih terlibat di manajemen perusahaan. Walaupun jobdescnya sedikit jadi-jadian, gue tetep seorang dokter, punya STR, keanggotaan IDI, dll. Sama seperti ibu, baik itu ibu yang melahirkan dengan operasi caesar, ibu yang tidak memberi ASI eksklusif, atau ibu yang bekerja kantoran, tetap saja judulnya ibu, kan?

Kenapa gue tiba-tiba ngomongin ibu? Gue mau sedikit mengulas tentang mom wars yang akhir-akhir ini sudah TERLALU SERING kita jumpai di dunia parenting, khususnya ibu-ibu. Kalau bapak-bapak ikutan berantem, mungkin namanya jadi dad wars. Tapi kayanya jarang banget bapak-bapak yang niat untuk terlibat di war-waran ini. Mending nyari duit, yekan, Pak?

Hasil gambar untuk dont give a damn gif



Sebelumnya kita harus tau dulu nih, apa sih arti dari war.

War is a state of armed conflict between different nations or states or different groups within a nation or state.

Kalau dalam bahasa Indonesia, war atau perang merupakan konflik bersenjata antar bangsa, negara, atau kelompok dalam suatu bangsa atau negara. Err, tapi kalau mom wars sih, jangan dibayangin perang yang literally perang pake senjata gitu ya. No, mom wars bukan perang semacem itu.

Sepengetahuan gue sih, mom wars adalah ‘perang’ antara ibu-ibu tentang idealisme, pendapat, serta metode yang menurut mereka benar di dunia parenting. Jadi mungkin lebih ke perselisihan pendapat ya? Tapi walaupun perangnya ngga pake bambu runcing apalagi menimbulkan korban jiwa, mom wars ini sangat berpotensi menimbulkan berbagai dampak buruk bagi para partisipannya.


Ngga percaya? Yuk kita bahas satu-satu mom wars yang marak diperbincangkan di dunia parenting!


Ibu yang melahirkan pervaginam vs Ibu yang melahirkan melalui operasi caesar

Mungkin istilah yang udah familiar di dunia parenting bukan melahirkan pervaginam ya, tapi melahirkan normal. Tapi gue pribadi, dari dulu, kurang nyaman menggunakan istilah itu. Kesannya melahirkan selain pervaginam itu melahirkan yang abnormal. Padahal yang abnormal itu sih, beranak dulu baru nikah #eh.


Hasil gambar untuk oops gif


Sebenarnya, apa sih tujuan melahirkan itu? Tujuan akhirnya adalah membawa janin yang sudah dikandung selama lebih dari 9 bulan ke dunia dengan selamat, kan? Tolong ya, kata ‘selamat’ itu dijadikan highlight. Karena berarti, yang terpenting dari melahirkan itu adalah hasil akhirnya, bayi dan ibu selamat. Apapun prosesnya. Titik.

Eh, tunggu dulu. Jangan dititikin dulu.

Banyak yang bilang, kalo persalinan ngga lewat vagina itu belum sah jadi ibu. Kalo persalinan ngga ngerasain sakit itu belum jadi ibu sepenuhnya. Sorry, but I have to say, what the hell. Seolah menjadi ibu sepenuhnya itu tergantung dari seberapa berat penderitaan atau rasa sakit yang kita rasakan. Seolah keluarnya bayi dari vagina itu satu-satunya hal yang bisa memvalidasi status ibu dari seorang wanita.

Kalau menurut gue, setiap wanita pasti sebenarnya pengen merasakan melahirkan anaknya dari vagina. Gue berani bilang begitu karena gue sendiri yang melahirkan melalui operasi caesar pun sebenarnya pengen mencoba melahirkan pervaginam. Apa daya, situasi dan kondisi kurang bisa diajak kerjasama. Metode melahirkan, termasuk melahirkan pervaginam, hanya bisa diusahakan, tidak bisa dipastikan keberhasilannya.

Jadi flashback dulu yaa, ke kisah pribadi gue.

Waktu gue hamil anak pertama, sampai di usia kehamilan 36 minggu, semuanya baik-baik aja. Kondisi janin baik, posisi janin ciamik, ketuban cukup, plasenta apik, dan tidak ada lilitan tali pusar. Bisa dibilang, 99% gue bisa melahirkan pervaginam. Tapi siapa gue dan obgyn gue, kalo bisa ngedahuluin takdir?

Gue kemudian harus menghadapi kenyataan bahwa di usia kehamilan 36 minggu, tiba-tiba plasenta gue mengalami pengapuran yang cukup drastis. Bahkan pengapuran plasentanya sudah mencapai grade IV. Dengan pengapuran plasenta itu, asupan nutrisi ke janin menjadi sangat berkurang. Efeknya adalah, berat janin gue bukannya bertambah di minggu-minggu akhir kehamilan. Malah berkurang dan diprediksi hanya mencapai 2200 gram.

Apakah gue langsung memutuskan operasi Caesar saat itu?

Tidak, cyin. Gue masih bersabar dan berikhtiar dengan…makan super banyak. Huahaha. Ngga peduli berat badan gue yang melonjak cukup drastis, yang penting asupan ke janin gue bisa maksimal. FYI, kenaikan berat badan gue pas hamil pertama itu sampe 22 kilo lhooo. Sayangnya, usaha gue itu belum berhasil. Berat badan gue sih naik. Pake banget. Tapi berat janin tetap stagnant bahkan cenderung menurun. Terus 22 kilo itu ke manaaa? Ke gue semua dooong??


Hasil gambar untuk i'm fat gif


Bahkan di saat itu, gue belum kehilangan harapan untuk bisa lahiran normal. Gue masih beraktifitas biasa, bahkan masih ngantor. Sampai suatu hari, waktu usia kehamilan gue memasuki minggu ke 37, gue kontrol rutin ke obgyn dan cerita ke obgyn kalau akhir-akhir ini janin gue super aktif sampai membuat perut gue kenceng terus. Obgyn gue curiga, dan beliau memegang perut gue. Ternyata begitu diperiksa, janin gue bukan sekedar bergerak, tapi rahim gue saat itu sedang mengalami kontraksi!

Saat itu, gue merasa super bodoh. Waktu gue masih praktek klinis, gue kan sering menangani ibu hamil, termasuk mendeteksi dan mengukur kontraksi. Tapi kok bisa-bisanya gue ngga tau kalo gue sendiri lagi mengalami kontraksi? Zzzz.

Hasil gambar untuk you are so dumb gif


Detik itu juga dokter menginstruksikan gue untuk bedrest. Alhasil, gue harus cuti mendadak dari kantor. Padahal rencananya sih pengen ambil cuti pas mepet lahiran. Biar waktu bersama bayi bisa lebih banyak nantinya. Tapi ya mau bagaimana lagi? Gue langsung mengurus izin cuti dari kantor yang untungnya tidak dipersulit.

Selanjutnya, gue mengalami kontraksi non-stop. Gue juga kontrol ke obgyn dengan frekuensi dua hari sekali. Setiap kontrol, dilakukan pemeriksaan CTG dan dicek bukaan yang rasanya aduhai banget! Hasilnya, kontraksi gue udah kencang dan teratur, setara dengan pembukaan 4. Tapi pada kenyataannya, begitu diukur pembukaan gue baru 1 menuju 2 aja, dong.

Gue mengalami kondisi yang stagnant selama kurang lebih dua minggu. Yep, gue mengalami kontraksi kuat dan teratur plus bukaan yang tidak maju selama dua minggu. Obgyn tersayang menawarkan dua pilihan: induksi atau operasi caesar. Dengan pertimbangan kalau saat ini dengan kontraksi kuat pun tidak terjadi pertambahan bukaan, plus induksi berpotensi gagal juga dan bisa berakhir dengan operasi Caesar juga, gue dan suami akhirnya memutuskan kalau gue akan menjalani operasi caesar.

Apakah keputusan operasi caesar yang gue ambil adalah keputusan yang tepat?

Gue bisa bilang, iya. Toh pada akhirnya, Alhamdulillah, bayi gue dan gue selamat tanpa kurang suatu apapun. Walaupun begitu, dalam hati tentunya ada sedikit rasa kecewa karena tidak bisa merasakan persalinan pervaginam.

Apa keputusan operasi caesar yang gue ambil mengundang banyak pertanyaan dan komentar orang? 

Gue harus bilang, banget. Banyak yang bilang gue ngga mau usaha buat bisa lahiran normal. Banyak yang bilang gue takut sakit jadinya mutusin caesar. Bahkan ada yang nyinyir, kok dokter lahirannya ngga normal sih?


Gambar terkait


I should say, what the hell.

Ngana pikir lahiran caesar ngga sakit? 

Ada salam dari suntik epidural yang gue jalani di tulang belakang. Dua kali. Karena setelah suntikan yang pertama gue masih bisa ngangkat kaki gue. Ada salam dari kateter yang harus gue pake sehari semalem. Ada salam dari jahitan di perut yang nyut-nyutan dan harus gue tahan karena gue harus belajar tidur miring, duduk, berdiri, jalan, mandi sendiri, plus netein anak.

Apakah gue ngeluh?

Ngga dong. Kan itu pilihan gue. Lagian dari dulu gue bukan orang yang berprinsip lahiran-caesar-itu-ngga-sakit-kaya-lahiran-normal. Yang namanya lahiran ya pasti sakit lah, cong. Boker kalau sembelit aja rasanya aduhai, apalagi melahirkan?


Gambar terkait


Pada intinya, proses persalinan yang mana pun, yang penting adalah mengutamakan keselamatan ibu dan bayi. Walaupun demikian, gue setuju kalau persalinan caesar harus dilakukan karena indikasi medis tertentu. Misalnya, tulang panggul yang (menurut perkiraan dokter) kurang memungkinkan untuk dilewati bayi, malpresentasi alias posisi janin yang kurang oke, adanya lilitan tali pusar pada bayi, plasenta previa, atau riwayat penyakit tertentu pada ibu. Karena sebenarnya, risiko dari persalinan caesar itu sangat tinggi, lho. Mulai dari pemulihan yang lebih lama, risiko perdarahan yang lebih besar, hingga risiko infeksi pada luka bekas operasi.

Jadi, masih beranggapan persalinan caesar itu ngga sakit dan lebih enak untuk ibu? 😊

Tunggu episode mom wars berikutnya yaaa!  ← SAPE ELU, YAS?!

2 comments:

  1. Saya dua kali melahirkan dan semuanya caesar. Keduanya mempunyai pengalaman berbeda. Pengalaman pertama lebih drama karena setelah lahiran, saya terkena sakit kepala yang luar biasa. Makanya begitu caesar kedua, saya diskusikan dengan ahli anestesi. Alhamdulillah yang kedua gak mengalami sakit kepala lagi.

    Iya pernah juga dengar/baca komentar kalau yang melahirkan secara caesar bukan ibu sesungguhnya. Dulu sih suka sebel. Tapi, lama-kelamaan masa bodo, lah. Yang penting anak-anak dekat dan senang ma bundanya. Saya pun bahagia. Suami juga gak masalah saya lahiran secara caesar :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaha, sama bun, akupun sepertinya akan SC lagi yang kedua ini...dan masih ngga luput dari nyinyiran orang2: segitunya yaa ngga mau nyoba lahiran normal *yassalam*

      tapi bodo amet yaaa, yang penting anak sehat dan selamat, hihi :D

      Delete

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS