Haaaai, kembali lagi dengan pembahasan Mom Wars versi gue. Setelah di edisi sebelomnya gue ngebahas tentang lahiran pervaginam vs operasi caesar, kali ini gue akan membahas perdebatan yang pastinya ngga kalah seru dengan edisi sebelomnya, yaitu ASI vs Susu Formula (sufor). Semuanya udah pasti pernah denger kan isu-isu terkait perdebatan ini?
Seiring dengan
meningkatnya pengetahuan tentang ASI, meningkat juga kesadaran ibu-ibu akan
pentingnya memberikan ASI kepada bayi. Khususnya pemberian ASI secara
eksklusif, ya. WHICH IS GOOD YAA. Jadi, kalau dulu ibu dianggap keren dan bergengsi kalau bisa
memberikan sufor ke bayinya, sekarang yang bisa ngasih ASI eksklusiflah yang
dianggap sebagai #lifegoals.
Gue pun ngga memungkiri,
kalau ASI itu memang yang terbaik untuk bayi. Bahkan bukan hanya untuk bayi,
pemberian ASI juga baik untuk ibu, misalnya untuk menurunkan berat badan dengan
cepat, hihihi. Ngga usah dibahas lagi tentang gizi yang terkandung di dalam ASI,
imun yang bisa kita berikan untuk bayi, plus bonding yang bisa diciptakan waktu
kita menyusui bayi. 100% gue setuju, kalau ASI itu hadiah terindah dan tak
tergantikan yang bisa seorang ibu kasih ke bayinya.
Tapi, itu kalau bisa. Tapi, itu idealnya. Kalau ngga bisa, bagaimana?
Bagaimana kalau si ibu
meninggal saat melahirkan lalu ngga bisa ngasih ASI ke bayinya?
Bagaimana kalau si ibu
ada penyakit tertentu yang bisa menular ke bayinya melalui ASI?
Bagaimana kalau si ibu
sudah berusaha memberikan ASI, tapi tetap tidak keluar atau tidak bisa memenuhi
kebutuhan bayinya?
Semua pertanyaan itu
seharusnya menyadarkan kita, kalau terkadang tidak memberi ASI adalah pilihan
yang mau ngga mau harus diambil. Atau kalau mau lebih dramatis lagi, terkadang memberi ASI bukan hal yang memungkinkan untuk dilakukan.
Once
again, gue mau cerita nih, tentang pengalaman gue. Gue lahiran lewat operasi caesar. Setelah si bayi keluar, dokter mencoba memfasilitasi gue dan bayi gue dengan inisiasi menyusui dini alias IMD. Tapi sayangnya kurang begitu berhasil, secara bayi gue beratnya relatif mungil dan doi kedinginan karena suhu di ruang operasi memang dingin. Plus tensi gue juga drop sehingga gue harus 'ditidurkan' setelah bayi keluar dari perut. So, IMD? Telah dicoba, tapi gagal, sodara-sodara.
Setelah masuk ke ruang rawat inap, gue
langsung berusaha untuk menyusui bayi gue. Segala macem ilmu yang gue punya,
gue praktikin. Ngga peduli rasa capek yang gue rasain karena masih proses
pemulihan pasca operasi caesar, bayi gue langsung gue tidurin di kasur gue dan
gue belajar nyusuin sambil tidur miring. Hasilnya, bayi gue sih terlihat bisa
nempel dan menghisap.
Hore?? Belom tentu.
Di rumah sakit tempat gue
melahirkan, setiap pagi dan sore bayi dimandikan dan ditimbang. Salah satu
tujuannya adalah untuk memantau berat badan bayi. Di hari-hari pertama kehidupan
memang bayi diperbolehkan untuk turun berat badannya, maksimum 15% dari berat
badannya saat lahir. Penurunan tersebut terjadi karena beberapa hari setelah
kelahiran adalah masa adaptasi, baik dari sisi si ibu maupun si bayi. Si ibu
masih dalam proses pemulihan pasca persalinan sekaligus belajar untuk menyusui.
Si bayi pun harus belajar untuk survive
di dunia baru dan belajar untuk menyusu.
Anak gue lahir dengan
berat badan minimum, hanya 2530 gram. Pas-pasan banget, ya? Sayangnya, berat
badan yang sudah minim itu harus turun lagi di hari-hari pertama. Sayangnya
lagi, turunnya sudah lebih dari 15%. Namun, saat itu gue masih keukeuh untuk
hanya memberikan ASI. Tentunya dengan konsekuensi, gue menyusui dengan gencar.
Pagi-siang-sore-malem, tidak peduli kapanpun, gue mengusahakan bayi gue agar
bisa menyusu.
Satu lagi tentang belajar menyusui: tete lo bakal dipijet dalam rangka mengusahakan keluarnya ASI dengan lancar. Dipijet oleh suster rumah sakit, yang kemudian menurunkan ilmunya ke suami lo. Biar suami juga bisa mijet payudara, begitchu. Tapi jangan bayangin pijet payudara yang lembut atau sensual yee. Pijet payudara itu...SAKIT, sodara-sodara. Sekarang gue tau, rasanya jadi sapi perah. Because I've been treated like one.
I feel you, pi...sapi...
Satu lagi tentang belajar menyusui: tete lo bakal dipijet dalam rangka mengusahakan keluarnya ASI dengan lancar. Dipijet oleh suster rumah sakit, yang kemudian menurunkan ilmunya ke suami lo. Biar suami juga bisa mijet payudara, begitchu. Tapi jangan bayangin pijet payudara yang lembut atau sensual yee. Pijet payudara itu...SAKIT, sodara-sodara. Sekarang gue tau, rasanya jadi sapi perah. Because I've been treated like one.
I feel you, pi...sapi...
Seharian gue full mencoba mengerahkan seluruh daya dan upaya untuk bisa mengeluarkan ASI. Saat itu, gue masih merasa kalo semua berjalan lancar-lancar aja. Gue mulai tertampar saat
tau bilirubin anak gue sangat tinggi, mencapai 19 mg/dl. Fix, dia harus disinar. Sayangnya, dalam proses penyinaran, ada
kemungkinan bayi untuk dehidrasi. Oleh karena itu, asupan nutrisinya harus
optimal dan sayang sekali, ASI gue belum bisa memenuhi kebutuhan bayi gue.
Dari mana gue tau ASI gue
belum optimal?
Kalau menyusu langsung
sih, kurang ketauan ya, berapa sebenarnya jumlah produksi ASI kita. Indikator
ASI cukup hanya bisa dilihat dari apakah bayi puas setelah menyusu atau tidak
serta perkembangan berat badan bayi. Kalau bayi puas menyusu, biasanya sih si
bayi akan tertidur. Nah masalahnya, bayi yang tidur setelah menyusu itu bisa
jadi karena dia puas menyusu, atau malah sebaliknya, dia kelelahan saat ngga
kenyang-kenyang saat menyusu.
Gue curiga bayi gue tidur
karena dia kelelahan menyusu. Kenapa? Soalnya berat badannya turun lebih dari
15% dalam tiga hari pertama. Buat memastikannya, gue mencoba memompa ASI gue.
Bener aja, ASI gue belum maksimal. Istilahnya cuma bisa ngebasahin pantat
botol.
Kecapean nyusu, be lyke...
Okay. Gue paham kalo
kolostrum –ASI yang keluar di hari-hari awal pasca persalinan- memang tidak
diharapkan berjumlah banyak. Gue juga paham kalau di awal kehidupan, lambung
bayi itu ukurannya masih kecil banget sehingga memang tidak butuh ASI
banyak-banyak. Tapi masalahnya, bayi gue butuh asupan dan tidak bisa lagi
menunggu ASI gue keluar dengan cukup banyak. Dia harus segera disinar. Gue
harus segera menentukan pilihan.
Opsi gue hanya dua,
memberi bayi gue sufor atau menerima donor ASI. Gue masih percaya kalau ASI itu
yang terbaik. Meskipun demikian, gue dan suami masih belum bisa mengambil
pilihan donor ASI. Terlalu rumit prosesnya, plus ada efek jangka panjang yang
harus dipikirkan. Baik secara agama, maupun sosial.
Karena pilihan donor ASI
kita coret, mau ngga mau kita memilih pilihan sufor. Singkat kata, bayi gue
diberikan 10 cc tambahan sufor. Walaupun demikian, gue tetep berjuang untuk
selalu menyusui dan memompa.
Sufor adalah solusi terbaik (buat kita) saat itu. Mungkin yang terbaik dengan berbagai pertimbangan yang ada. Toh buktinya anak gue baik-baik aja saat itu dan sampe saat ini. Gue paham banget hal itu, tapi itu ngga membuat gue ngga merasa jadi ibu yang gagal...khususnya saat itu.
Singkat kata, kita pulang
dari rumah sakit. Gue dapet booster
ASI dalam bentuk obat dari obgyn tersayang. Plus, gue giat memamah biak makanan
bergizi setiap harinya. Alhamdulillah, perlahan namun pasti ASI gue berlimpah.
Kulkas dan freezer pun bisa terpenuhi dengan stok ASI Perah alias ASIP. Bekel
buat bayi ditinggal kerja bisa dibilang aman. Bayi gue ngga mengecap sufor lagi
setelah keluar dari rumah sakit.
Btw, gue udah cerita belum kalau gue memberikan ASIP ke anak gue pake botol dan bukan cup feeder atau media-media ideal lainnya? Yes, buibu. Nambah lagi satu point minus buat gue. Tapi apa boleh dikata, anak gue menolak minum ASIP kalo pake cup feeder. Daripada ASI yang ada kebuang-buang, yasudah, saya rela membelikan dan memberikan dot buat si bocah.
Ndak ideal maning???
Semuanya berjalan lancar
sampai kira-kira usia anak gue 15 bulan. Di saat gue masih punya banyak stok ASIP,
masih rutin memompa, masih rutin menyusui langsung setiap ada kesempatan, anak
gue menolak untuk menyusu dan minum ASIP. Yes,
dia seperti menyapih dirinya sendiri. Awalnya dia menolak menyusu, ekspresinya seperti
geli setiap gue menyodorkan payudara. Huhuhu, jadi sedih. Tapi gue masih giat
memompa dengan niat setidaknya dia masih minum ASIP. Lama-lama, mungkin karena
dia kurang terbiasa dengan rasa ASI, diapun mulai menolak minum ASIP.
Teroosss, anak gue minum apa?
Kembali lagi ke....? Yak betoooool, buibu. Sufor.
Teroosss, anak gue minum apa?
Kembali lagi ke....? Yak betoooool, buibu. Sufor.
Apa kabar ASIP gue yang
Menuhin kulkas itu?
Jangan sedih, mamen. Si
ASIP masih bisa gue karyakan untuk dicampur di makanan si bocah. Jadi kalo buat
makanan yang ada bahan susunya, gue pakelah si ASIP itu. Tapi semakin lama,
produksi ASI gue menurun. Mungkin karena demand-nya
ngga ada, secara udah ngga nyusuin langsung. Alhasil sebelum usia dua tahun, anak gue udah ngga mengkonsumsi ASI. Baik
langsung, maupun perah. Ngga S3 ASI dong? Yakeleus. Dari awal aja udah gagal
sarjana ASI. Kan di rumah sakit udah nyicip sufor, hihi. Drop out ya, nak!
Jadi, gimana pendapat gue
tentang ASI vs Sufor?
Idealnya, gue pasti
memilih ASI. Manfaatnya udah ngga terbantahkan lagi. Plus, gratis lagi kan,
dibandingkan dengan harga sufor yang menggerus jatah beli lipen ibu, hihihi.
Tapi itu idealnya, lho. Dalam beberapa kondisi yang tidak ideal, di mana tidak
memungkinkan untuk ibu memberikan ASI atau tidak memungkinkan bayi untuk
menerima ASI sebagai asupan tunggal, menurut gue there’s no harm in sufor. Bagaimanapun, sufor diproduksi oleh
perusahaan professional yang pastinya sudah menguji keamanan produknya untuk
dikonsumsi. Seberapapun lebih unggulnya ASI dibanding sufor, sufor tetap susu,
bukan racun.
Jadi inilah gue, seorang ibu yang gagal melakukan IMD dengan bayinya. Seorang ibu yang memberikan sufor untuk anaknya. Seorang ibu yang memberikan ASI dan sufor lewat botol ke anaknya. Seorang ibu dengan anak yang tidak sarjana ASI.
Gue sangat mengerti kenapa kampanye ASI harus banget digalakkan, terutama untuk asosiasi atau instansi pejuang ASI yang memang berkepentingan untuk mengampanyekan hal tersebut. Itu memang hal yang jadi kewajiban kalian dan memang harus ada pihak-pihak yang 'galak' berkampanye. Tapi, bukan berarti semua ibu-ibu pejuang ASI harus jadi 'agresif dan fanatik' dalam mengkampanyekan ASI, kan? Apalagi, kalo udah cenderung mengintimidasi atau mendiskreditkan ibu yang tidak atau tidak bisa memberikan ASI.
Gue inget banget, waktu awal-awal nyusuin dan merasa kesulitan latch on dan mempertahankan posisi yang (sepertinya) sudah benar. Jadi, gue memanggil pengajar dari AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) yang memang bisa dipanggil private ke rumah untuk sesi mengajar. Alhamdulillah, dengan bantuan AIMI, di akhir sesi gue bisa menyusui dengan baek dan benar di posisi duduk dan berbaring. Tapi, ada perkataan dari pengajarnya yang membuat gue rada merasa gimanaaa gitu.
Jadi, waktu itu gue ditanya apakah anak gue pernah mencicip minum selain ASI gue. Ya gue jawablah kalo waktu di RS anak gue pernah mencicip sufor. Terus begitu tanggepannya.
Oke, itu adalah perkataan yang baik dan menenangkan. Tapiiii, gue ngga merasa ngga ikhlas atau marah ke diri sendiri kok waktu ngasih sufor. Gue merasa sedih, iya. Gue merasa gagal, iya. Tapi ya udah gitu aja. Ngga merasa marah sampe ngga bisa memaafkan diri sendiri gitu, kok. 😋
Gue inget banget, waktu awal-awal nyusuin dan merasa kesulitan latch on dan mempertahankan posisi yang (sepertinya) sudah benar. Jadi, gue memanggil pengajar dari AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) yang memang bisa dipanggil private ke rumah untuk sesi mengajar. Alhamdulillah, dengan bantuan AIMI, di akhir sesi gue bisa menyusui dengan baek dan benar di posisi duduk dan berbaring. Tapi, ada perkataan dari pengajarnya yang membuat gue rada merasa gimanaaa gitu.
"Kamu harus mengikhlaskan dan memaafkan diri kamu yang sudah memutuskan memberi sufor ke anakmu. Yang penting jangan diulangi lagi. Kalau masih belum bisa ikhlas dan memaafkan diri sendiri, nanti proses menyusuinya jadi terhambat."
Jadi, waktu itu gue ditanya apakah anak gue pernah mencicip minum selain ASI gue. Ya gue jawablah kalo waktu di RS anak gue pernah mencicip sufor. Terus begitu tanggepannya.
Oke, itu adalah perkataan yang baik dan menenangkan. Tapiiii, gue ngga merasa ngga ikhlas atau marah ke diri sendiri kok waktu ngasih sufor. Gue merasa sedih, iya. Gue merasa gagal, iya. Tapi ya udah gitu aja. Ngga merasa marah sampe ngga bisa memaafkan diri sendiri gitu, kok. 😋
Balik lagi ke para penggiat ASI. Oke, maksudnya mungkin baik. Supaya si ibu aware kalo ASI memang yang terbaik buat bocah. Masalahnya, kalo udah aware tapi tetep ngga bisa ngasih ASI gimana? Udah usaha tapi tetep gagal piye? Apa tetep harus diceramahin terus menerus tentang betapa gagalnya mereka jadi ibu?
Masalahnya lagi, dengan membaca kampanye ASI yang (terlalu) semangat itu, ibu-ibu yang tidak bisa memberi ASI banyak yang jadi patah hati dibanding yang jadi termotivasi. Merasa jadi ibu yang gagal 'hanya' karena anaknya mencicip minuman selain ASI. Belum lagi kalau malah jadi stress. Tau sendiri kan, kalau stress itu malah ASI makin jadi mampet.
So, walaupun gue sangat mendukung pemberian ASI, pada beberapa kondisi, gue sih masih yes untuk pemberian sufor, I did it, and I have no obligation to hear other moms criticize me since I am the one who spend money on my son’s sufor.
Buat ibu-ibu yang 'gagal' memberikan ASI untuk anaknya, kalian ngga sendiri. Kalian juga bukan ibu yang gagal. Kalian hanya ada di kondisi yang kurang ideal. Kalian hanya memilih pilihan yang berbeda. Kalian tetep ibu kok, untuk anak-anak kalian! Anak kalian bukan 'anak sapi' seperti yang dibilang orang!
Buat semua pihak-pihak yang giat mengkampanyekan ASI, gue tetep sangat mendukung kalian. Semangat kalian harus diacungi jempol. Kampanye ASI itu penting banget, terutama untuk pihak-pihak yang memang belum terlalu paham penting dan baiknya ASI. Tapi mungkin ada beberapa di antara kalian yang terlalu 'bersemangat' dalam berkampanye sehingga khilaf dalam berkata-kata, yang mungkin, jadi kurang nyaman didengar. Kalau penyampaiannya lebih halus, mungkin apa yang ingin disampaikan bisa lebih masuk ke hati, kan?
Udah deh, sebelum malah mengundang kontroversi lebih lanjut, hihi. Sekian dan terima kasih.
Salam damai!
Marhabban ya THR Ramadhan!!!
No comments:
Post a Comment